Kapolri Keempatbelas [ 29 Juni 1998 - 3 Januari 2000 ]
Salah satu putra terbaik bangsa Indonesia yang pernah dimiliki adalah Drs. Roesmanhadi, S.H., M.M., M. Hum. Ia adalah Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) ke-14, selama periode 3 Juli 1998 – 4 Januari 2000.
Sejumlah “pekerjaan rumah” yang berat telah menghadang Kapolri Letjen Polisi Drs. Roesmanhadi, S.H., M.M., M. Hum. Setelah menerima tongkat komando dari Drs. Dibyo Widodo, Roesmanhadi mencurahkan pikirannya untuk memperbaiki citra polisi. Ia pun juga harus mencari cara untuk menigkatkan kemampuan profesionalisme anggota Polri, khususnya sebagai penyidik dan mempercepat kerja sama dengan polisi luar negeri dan lembaga lain.Korps pimpinan Roesmanhadi ini tengah menghadapi masyarakat yang kian gencar menuntut polisi agar dapat
mengusut tuntas sejumlah kasus besar yang kontroversial, seperti pembunuhan wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafrudin, pembunuhan raja judai Nyo Beng Seng, dll. Selain itu, Polri juga harus menerima kenyataan bahwa personelnya sangat terbatas (184.283 personel) yang diharuskan mengahadapi gelombang reformasi yang diiringi aksi unjuk rasa, dengan populasi penduduk mencapai 200 juta jiwa.Di samping persoalan keterbatasan personel yang tidak sebanding dengan besarnya persoalan bangsa, Roesmanhadi juga menyadari bahwa selama ini citra polisi terbilang kurang bagus. Citra itu kian tercoreng dengan tuduhan bahwa polisilah pembunuh empat mahasiswa Trisakti, 12 Mei 1998. Bagi lelaki kelahiran Porong itu, citra Polri merupakan permasalahan nomow satu yang harus segera dibangun kembali. Polisi tidak akan ada artinya jika tidak mendapat tempat di hati masyarakat. “Pertama-tama kami ingin mengembalikan citra Polri, yakni Polri yang dicintai dan disegani masyarakat”, ujar pria alumnus PTIK 1974, Angkatan XI / Bhakti ini.Ia juga mengakui Polri sedang mengalami degradasi kepercayaan masayarakat. Hal ini terlihat dari sejumlah WNI keturunan Tionghoa yang mengalami ketragisan diperkosa dan dianiaya oleh massa perusuh (kasus kerusuhan 13-14 Mei 1998) ternyata lebih percaya dan mengadu kepada Komnas HAM, bukan kepada polisi. Semasa Roesmanhadi memangku jabatan Kapolri, banyak desakan agar Polri memisahkan diri dari ABRI. Dan desakan itu pun terealisasikan, tepatnya Kamis 1 April 1999, Polri resmi memisahkan diri dari ABRI. Dengan lepasnya Polri dari ABRI, tantangan baru telah menghadang dan harus dihadapi. Untuk menghadapi tantangan baru, sebagai Kapolri di tengah reformasi, Roesmanhadi pun melakukan reformasi di tubuh Polri. Reformasi yang dimaksud adalah berkaitan dengan reformasi kemampuan, keterampilan, dan mentalitas anggota Polri. Fokus utamanya adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia dari segenap jajarannya. Fokus ke dalam tubuh Polri sendiri adalah pembenahan kepada anggota Polri melalui pendidikan, sedangkan fokus ke luar adalah meningkatkan pelayanan kepada masyarakat secara lebih baik lagi dalam rangka memulihkan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat yang sebelumnya terdegradasi. Lepas dari itu semua, Roesmanhadi merupakan pribadi yang taat kepada kedua orang tuanya. Kakek dan ayahnya adalah seorang polisi. Terlahir dari keluarga polisi, Roesmanhadi kecil yang lahir di Porong, Sidoarjo, 5 Maret 1946 ini wajar bercita-cita menjadi polisi. Keputusannya untuk melanjutkan tradisi keluarga merupakan pilihan tepat. Keputusan itu telah membawa Roesmanhadi menangkup jabatan tertinggi di Polri.
mengusut tuntas sejumlah kasus besar yang kontroversial, seperti pembunuhan wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafrudin, pembunuhan raja judai Nyo Beng Seng, dll. Selain itu, Polri juga harus menerima kenyataan bahwa personelnya sangat terbatas (184.283 personel) yang diharuskan mengahadapi gelombang reformasi yang diiringi aksi unjuk rasa, dengan populasi penduduk mencapai 200 juta jiwa.Di samping persoalan keterbatasan personel yang tidak sebanding dengan besarnya persoalan bangsa, Roesmanhadi juga menyadari bahwa selama ini citra polisi terbilang kurang bagus. Citra itu kian tercoreng dengan tuduhan bahwa polisilah pembunuh empat mahasiswa Trisakti, 12 Mei 1998. Bagi lelaki kelahiran Porong itu, citra Polri merupakan permasalahan nomow satu yang harus segera dibangun kembali. Polisi tidak akan ada artinya jika tidak mendapat tempat di hati masyarakat. “Pertama-tama kami ingin mengembalikan citra Polri, yakni Polri yang dicintai dan disegani masyarakat”, ujar pria alumnus PTIK 1974, Angkatan XI / Bhakti ini.Ia juga mengakui Polri sedang mengalami degradasi kepercayaan masayarakat. Hal ini terlihat dari sejumlah WNI keturunan Tionghoa yang mengalami ketragisan diperkosa dan dianiaya oleh massa perusuh (kasus kerusuhan 13-14 Mei 1998) ternyata lebih percaya dan mengadu kepada Komnas HAM, bukan kepada polisi. Semasa Roesmanhadi memangku jabatan Kapolri, banyak desakan agar Polri memisahkan diri dari ABRI. Dan desakan itu pun terealisasikan, tepatnya Kamis 1 April 1999, Polri resmi memisahkan diri dari ABRI. Dengan lepasnya Polri dari ABRI, tantangan baru telah menghadang dan harus dihadapi. Untuk menghadapi tantangan baru, sebagai Kapolri di tengah reformasi, Roesmanhadi pun melakukan reformasi di tubuh Polri. Reformasi yang dimaksud adalah berkaitan dengan reformasi kemampuan, keterampilan, dan mentalitas anggota Polri. Fokus utamanya adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia dari segenap jajarannya. Fokus ke dalam tubuh Polri sendiri adalah pembenahan kepada anggota Polri melalui pendidikan, sedangkan fokus ke luar adalah meningkatkan pelayanan kepada masyarakat secara lebih baik lagi dalam rangka memulihkan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat yang sebelumnya terdegradasi. Lepas dari itu semua, Roesmanhadi merupakan pribadi yang taat kepada kedua orang tuanya. Kakek dan ayahnya adalah seorang polisi. Terlahir dari keluarga polisi, Roesmanhadi kecil yang lahir di Porong, Sidoarjo, 5 Maret 1946 ini wajar bercita-cita menjadi polisi. Keputusannya untuk melanjutkan tradisi keluarga merupakan pilihan tepat. Keputusan itu telah membawa Roesmanhadi menangkup jabatan tertinggi di Polri.
Sumber, http://www.museum.polri.go.id