Kisah 3


Kisah Anton Soedjarwo dengan Perahunya Saat Operasi Trikora
Pada salah satu operasi dalam Tri Komando Rakyat (Trikora) pada 1962, Polri terlibat dalam penyusupan ke Rumbati, Papua (ketika itu bernama Irian Barat) dari Pulau Gorom di wilayah Kepulauan Seram. Penyusupan pertama pada 4 April 1962 mengalami kegagalan karena kerusakan perahu. Penyusupan dilakukan kembali pada 13 Mei. Namun, operasi penyusupan terlacak dan terkepung kapal angkatan laut Belanda. Perbandingan kekuatan yang tak seimbang membuat pasukan penyusup memutuskan menyerah setelah sebelumnya berhasil membuang semua dokumen rahasia agar tak jatuh ke tangan musuh. Pasukan pelopor ini kemudian ditempatkan di Pulau Hundi bersama pasukan dari kesatuan RPKAD, Brawijaya, dan Diponegoro yang juga tertangkap.

Monumen Gorom.

Pada 7 Agustus, Komandan Detasemen Pelopor, AKP Anton Soedjarwo kembali mem- berangkatkan 65 pasukan pelopor dengan speedboat yang dipimpin Ajun Inspektur Pol. Hudaya Sumarya. Pasukan berhasil mendarat di Rumbati dan menguasai keadaan. Bersama penduduk Papua, pasukan pelopor ini melanjut- kan Operasi Trikora untuk merebut Papua.

Soekitman dan G30S
Sukitman lahir di Desa Cimanggu, Pelabuhan Ratu, Jawa Barat, pada 30 April 1943. Di usia 18 tahun, Sukitman merantau ke Jakarta dan lulus ujian seleksi masuk Sekolah Polisi Negara (SPN) Kramatjati, Jakarta, pada 1961. Siswa Angkatan VII SPN Kramatjati ini menyelesaikan pendidikannya pada Januari 1963 dan dilantik menjadi Agen Polisi Tingkat II. Ia pun memulai karir sebagai polisi di Markas Polisi Seksi VIII Kebayoran, Jakarta, sebagai anggota perintis dari Kesatuan Perintis/Sabhara.

Pada 30 September 1965 di malam hari, Sukitman sedang menjalankan tugas patroli. Tiba-tiba, terdengar suara tembakan diikuti rentetan letusan senjata. Ia bergegas menghampiri sumber suara dengan sepeda kumbangnya (hadiah bagi polisi berprestasi) ke arah kediaman Jenderal D.I Panjaitan. Namun, sekelompok orang menghadang dan menculiknya.

Agen Polisi Tingkat II Sukitman ikut dibawa ke Lubang Buaya dan menjadi salah satu saksi penculikan dan pembunuhan beberapa pemimpin TNI dalam Peristiwa G30S..

KS Tubun dan G30S
Ajun Inspektur II Polisi Karel Satsuit Tubun, anggota resimen I Brimob ini bertugas sebagai ajudan Wakil Perdana Menteri II Dr. Leimena. Pada 30 September 1965 di malam hari, K.S. Tubun melihat aktivitas mencurigakan di rumah Jenderal A.H. Nasution yang tidak jauh dari tempatnya bertugas.

Dengan insting polisinya, ia menghampiri kediaman A.H. Nasution dan memergoki segerombolan orang yang berusaha menculik Wakil Panglima Besar Komando Tertinggi TNI itu.

Terjadilah baku tembak yang menyebabkan gugurnya Ajun Inspektur II Polisi K.S. Tubun setelah ia sempat menembak mati seorang anggota pasukan penculik.

Karel Satsuit Tubun menjadi salah satu korban Peristiwa G 30 S yang ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, pada 2 Oktober 1965.

Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa
Polisi dan Gubernur di Tengah Pergolakan
Lulus dari sekolah polisi di masa Pendudukan Jepang pada 1943, Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa memulai tugas kepolisian sebagai Keibu. Pangkat pertamanya setelah Indonesia merdeka adalah Komisaris Polisi tingkat 1 dengan wilayah tugas di Sumatra Barat. Ia lahir pada 17 Januari 1906 di tepian Danau Maninjau, Bayur, Sumatra Barat. Ketekunan dan kegigihannya dalam menjalankan tugas membuat pengabdiannya juga dibutuhkan masyarakat di luar dinas kepolisian. Saat menjabat sebagai Kepala Polisi Sumatra Tengah pada 1958, ia diminta menjabat sebagai gubernur Sumatra Barat. Dengan pangkat terakhir Brigadir Jenderal Polisi, Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa memulai pengabdiannya di luar dinas Kepolisian RI pada 2 Juni 1958, sebagai gubernur kepala daerah pertama yang berasal dari dinas Kepolisian RI.

Mohammad Yasin
Kegigihan yang Melahirkan Brigade Mobil
Pada 21 Agustus 1945, Inspektur Polisi Mohammad Jasin, komandan Tokubetsu Keisatsutai (Polisi Istimewa) Surabaya, menyatakan bahwa Tokubetsu Keisatsutai Surabaya menjadi Polisi Republik Indonesia dan segera melakukan tindakan-tindakan untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Sosok kelahiran Sulawesi ini menunjukkan semangat juang dan prestasi cemerlang ketika menjalan- kan tugas dari Kapolri Jenderal Raden Said Soekanto Tjokrodimodjo untuk membentuk Brigade Mobil.

Saat itu, 1946, Mohammad Jasin menjabat Kepala Kepolisian di Karesidenan Malang. Kesatuan yang diresmikan pada 14 November 1946 di Purwokerto ini sejak awal berdirinya berjasa mengatasi ancaman keamanan dan ketertiban seperti pada peristiwa Agresi Militer Belanda dan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) di Bandung, serta pengamanan jalan di wilayah Jawa Barat dari ancaman gerombolan DI/TII .
Mohammad Jasin diangkat sebagai Bapak Brimob Kepolisian RI.

R. Soebarkah
Penata Fondasi Pendidikan Kepolisian
R. Soebarkah sedang menjabat sebagai Bupati Kudus pada 1946 ketika mendapat tugas menjadi direktur Sekolah Polisi Negara (SPN) di Mertoyudan, Jawa Tengah. Agresi Militer Belanda (Juli 1947) membuat kegiatan SPN terhenti. R. Soebarkah pun ditugaskan ke Yogyakarta dan membuka kembali SPN dengan menggunakan rumah peristirahatan Sri Sultan Hamengku- buwono IX di Ambarukmo, Yogyakarta. SPN dipindahkan ke Sukabumi, Jawa Barat, pada 30 April 1950 dan R. Soebarkah ditunjuk sebagai direkturnya. R. Soebarkah membentuk dasar-dasar pendidikan kepolisian ketika pada 1951 ia mendapat tugas sebagai Kepala Bagian Pendidikan Kepolisian Negara Jawatan Kepolisian Negara dan sekretaris Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, dengan tetap menjabat sebagai direktur SPN Sukabumi. Sosok yang lahir di Slawi (7 November 1902) ini sempat menulis buku Kumpulan Buku Pelajaran Bagi Murid Agen Polisi (1954) dan menjadi pemimpin redaksi Bhayangkara (1954), majalah khusus kepolisian RI.

R.A.J. Soedjasmin dan Korps Musik Polisi (KMP)
R.A.J. Soedjasmin mengenyam pendidikan musik di Utrecht, Belanda, pada 1934-1937. Ia bergabung dengan Sekolah Polisi Negara (SPN) Mertoyudan dan ditugaskan oleh R. Soebarkah (direktur SPN) untuk mengembang- kan pendidikan musik. Korps Musik Polisi (KMP) pun terbentuk pada 6 Maret 1947. Atas kerja keras R.A.J. Soedjasmin, KMP telah tampil di acara HUT Bhayangkara pertama, 1947. Di bawah bimbingan R.A.J. Soedjasmin, KMP terus hadir mengikuti kepindahan SPN dari Mertoyudan ke Ambarukmo dan kemudian ke Sukabumi pada 1950. Saat didirikan, korps ini hanya beranggotakan 7 orang. Anggota KMP terus berkembang hingga pada 1963 mencapai 144 orang. Selain melayani kegiatan di lingkungan Polri dan acara kenegaraan, KMP juga menjalankan fungsi sosial kemasyarakatan lewat pembinaan pendidikan musik bekerjasama dengan Radio Republik Indonesia dan Departemen Pendidikan RI. Pada 1967, KMP dipecah menjadi Korps Musik Komdak VII Jakarta Raya dan Komdin 96 Yogyakarta.