Kapolri Kesembilan [ 4 Desember 1982 - 6 Juni 1986 ]
"...kita harus tunjukkan bahwa kita mau dan bisa bekerja di situasi dan kondisi apa pun."
(Anton Soedjarwo)
Kehidupan Jenderal Polisi Anton Soedjarwo dipenuhi perjuangan tanpa henti-henti. Hal ini dimulai dari bergabungnya ia dengan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP). Kala itu, pemuda Soedjarwo tengah mengenyam pendidikan setingkat Sekolah Menengah Pertama di Sekolah Menengah Pertanian di Purworedjo. Soedjarwo dkk yang berbasis di wilayah Banjarnegara, Purwokerti dan Banyuman dengan gagah berani bergerilya ketika Belanda melancarkan Agresi Militer Pertama 20 Juli 1947. Kala itulah nama Anton mulai melekat pada diri Soedjarwo dan selanjutnya beliau dikenal dengan Anton Soedjarwo. Pemberian nama Anton itu adalah salah satu taktik dari perang gerilya kala itu.
Anton Soedjarwo pernah pula merasakan pahit getir berada dalam tahanan Belanda, yakni ketika ia dan kawan-kawan bergerak di wilayah Banyumas. Di penjara itu, ia sesel dengan Bismo, Legowo, dan Suyatno. Setelah Perjanjian Renville yang mengakibatkan gencatan senjata yang berimplikasi pada pembebasan seluruh tawanan perang di Jawa Tengah, Anton Soedjarwo dkk, pun dibebaskan. Anton Soedjarwo yang kurang-lebih begerilya untuk Indonesia kembali ke bangku sekolah, yakni di Sekolah Menengah Pertama Peralihan di Purwokerto. Di sini terlihat kepantang-menyerahan sosok Anton Soedjarwo dalam hal menuntut ilmu, sebuah watak yang terus ada hingga akhir hayatnya. Panggilan untuk berjuang tetap ada di sanubarinya. Maka, setelah menamatkan Sekolah Menengah Pertama Peralihan, ia bergabung lagi dengan pasukan Batalion Soehardoyo di Purworejo. Ini dipicu pula oleh Agresi Militer Belanda Kedua. Batalion Soehardoyo bergabung bersama batalion lain dalam Resimen 17. Selepas itu, Anton Soedjarwo melanjutkan lagi pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri bagian C/Ekonomi-Sosial di Magelang, satu-satunya SMA Negeri saat itu. Di sini, sifat kepemimpinan dan keuletannya terlihat. Ia selalu terpilih sebagai ketua di pelbagai kepengurusan dan pelajarannya pun bisa diselesaikan tepat waktu dengan hasil memuaskan. Postur gagah dan tinggi, suppel, familier, suka bergaul dengan siapa saja, membuat ia disenangi banyak orang, baik pria mau pun wanita. Selepas itu, ia memasuki Fakultas Hukum, Universitas Gajah Mada.Dunia kampus tak disenangi pribadi Anton Soedjarwo yang terbiasa berjuang dalam perang gerilya. Ia pun dua bulan kemudian bergabung dengan pendidikan Inspektur Polisi di Sukabumi selama dua tahun. Di sekolah ini ia bergabung dengan Kelas C yang dipenuhi murid-murid pandai dan cakap seperti Montolalu, Rustam Effendi, dan Muchtar Yahya. Ia tergabung dalam tim Anggar dan sempat akan berhadapan dengan tim Anggar Universitas Indonesia, mewakili tim Jawa Barat. Karena hujan, pertandingan ini batal. Beberapa peristiwa yang unik, berkesan, dan meningkatkan kematangan siswa di pendidikan Inspektur Polisi adalah:
Anton Soedjarwo pernah pula merasakan pahit getir berada dalam tahanan Belanda, yakni ketika ia dan kawan-kawan bergerak di wilayah Banyumas. Di penjara itu, ia sesel dengan Bismo, Legowo, dan Suyatno. Setelah Perjanjian Renville yang mengakibatkan gencatan senjata yang berimplikasi pada pembebasan seluruh tawanan perang di Jawa Tengah, Anton Soedjarwo dkk, pun dibebaskan. Anton Soedjarwo yang kurang-lebih begerilya untuk Indonesia kembali ke bangku sekolah, yakni di Sekolah Menengah Pertama Peralihan di Purwokerto. Di sini terlihat kepantang-menyerahan sosok Anton Soedjarwo dalam hal menuntut ilmu, sebuah watak yang terus ada hingga akhir hayatnya. Panggilan untuk berjuang tetap ada di sanubarinya. Maka, setelah menamatkan Sekolah Menengah Pertama Peralihan, ia bergabung lagi dengan pasukan Batalion Soehardoyo di Purworejo. Ini dipicu pula oleh Agresi Militer Belanda Kedua. Batalion Soehardoyo bergabung bersama batalion lain dalam Resimen 17. Selepas itu, Anton Soedjarwo melanjutkan lagi pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri bagian C/Ekonomi-Sosial di Magelang, satu-satunya SMA Negeri saat itu. Di sini, sifat kepemimpinan dan keuletannya terlihat. Ia selalu terpilih sebagai ketua di pelbagai kepengurusan dan pelajarannya pun bisa diselesaikan tepat waktu dengan hasil memuaskan. Postur gagah dan tinggi, suppel, familier, suka bergaul dengan siapa saja, membuat ia disenangi banyak orang, baik pria mau pun wanita. Selepas itu, ia memasuki Fakultas Hukum, Universitas Gajah Mada.Dunia kampus tak disenangi pribadi Anton Soedjarwo yang terbiasa berjuang dalam perang gerilya. Ia pun dua bulan kemudian bergabung dengan pendidikan Inspektur Polisi di Sukabumi selama dua tahun. Di sekolah ini ia bergabung dengan Kelas C yang dipenuhi murid-murid pandai dan cakap seperti Montolalu, Rustam Effendi, dan Muchtar Yahya. Ia tergabung dalam tim Anggar dan sempat akan berhadapan dengan tim Anggar Universitas Indonesia, mewakili tim Jawa Barat. Karena hujan, pertandingan ini batal. Beberapa peristiwa yang unik, berkesan, dan meningkatkan kematangan siswa di pendidikan Inspektur Polisi adalah:
• Perjuangan Status atau Tingkat Golongan Kepegawaian Setelah Lulus. Dalam peristiwa ini, Anton Soedjarwo dkk, memperjuangkan hak mereka sebagai Inspektur Polisi.Peristiwa Toral. Di peristiwa ini Anton Soedjarwo menunjukan kenasionalisannya dan watak tentara kemerdekaannya. Karena ada piket dari Inspektur Kelas I Toral yang Indo memaki dalam bahasa Belanda, ia langsung memukul orang itu dan diikuti siswa bekas tentara pelajar lainnya. Akibatnya, mereka harus indekos di kota Sukabumi. Namun hal ini malah mendekatkan mereka dengan masyarakat sehingga Anton Soedjarwo dkk, lebih terlibat dengan masyarakat di kemudian harinya. Pada 11 September 1954, Anton Soedjarwo menyelesaikan pendidikan Sekolah Inspektur Polisi tepat pada waktunya dengan angka memuaskan. Dengan SK Kepala Kepolisian Negara No. Pol: 3096/2/54/UP, 11 September 1954 ia menyandang pangkat Inspektur Polisi Kelas II (Letnan Dua). Ia ditugaskan sebagai Kepala Kepolisian Wilayah Palopo di Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara. Tahun 1956, ia dipindahkan ke Kepolisian Kota Besar Makassar sebagai Kepala Polisi Lalu Lintas. Pekerjaan baru ini sungguh menantang dirinya. Namun jiwa besarnya lebih menginginkan tantangan yang lebih besar pula. Maka ketika ada kabar dari teman dekatnya Inspektur Polisi I Arismunandar yang bertugas sebagai Ajudan Senior Kepala Kepolisian Negara (KKN) bahwa masih dibutuhkan satu ajudan lagi. Maka, ia pun (1956) ditarik ke Jakarta untuk menjadi ajudan Kepala Kepolisian Negara RS Soekanto. Tiap bulan setelah menjadi ajudan, karena tak sesuai dengan jiwanya, Anton Soedjarwo minta dikembalikan ke Makassar. Tahun 1957, ia ditempatkan di kantor Djawatan Kepolisian Negara (DKN), biro organisasi, urusan bantuan Luar Negeri seksi Logistik/Perlengkapan bersama IP I Sunoto di seksi Trainee, mengurus pengiriman anggota polisi dan sipil polisi ke luar negeri, terutama Amerika. Di sini, ia tertantang memperdalam bahasa Inggris hingga ia fasih. Tahun 1959, Anton Soedjarwo dikirim ke Sekolah Polisi Mobile Brigade (SPMB) di Porong, Jawa Timur untuk mengikuti pendidikan ranger angkatan pertama. Dari 150 siswa yang lulus latihan dasar hanya 98 siswa dan dari 98 itu yang lulus latihan ranger hanya 95 orang termasuk Anton Soedjarwo. Mereka semua dimasukan dalam kompi baru yaitu Kompi 5995 Ranger. Anton Soedjarwo menjadi Komandan Kompi Ranger 5995 dari 1959-1961, lantas meningkat menjadi komandan batalion dan kemudian Komandan Resimen Pelopor dari 1961-1972. Resimen Pelopor ini dibangun oleh Anton Soedjarwo dengan fasilitas sangat terbatas. Ini adalah salah satu resimen kebanggaan polisi yang dapat diterjunkan ke setiap lapangan baik dalam keadaan perang mau pun damai. Dalam kepemimpinannya, Anton Soedjarwo selalu menunjukan “Ing Ngarso sun tulodo”.
Sumber, http://www.museum.polri.go.id