Roekmini Koesoemo Astoeti (lahir di desa Tobo, Bojonegoro, Jawa Timur, 4 September 1938 – meninggal di Jakarta, 2 September 1996 pada umur 57 tahun) adalah wanita kedua yang mencapai pangkat jenderal polisi di Indonesia.
Brigjen Polisi Roekmini dilahirkan sebagai anak keenam dari delapan bersaudara dari pasangan R. Soedarso dan Raden Ayu Soemina. Masa kecilnya dilaluinya dengan berat setelah ayahnya, Kepala Kehutanan Saradan, Madiun, meninggal dunia saat Roekmini baru berusia 7 tahun dan masih duduk di Sekolah Dasar. Sepeninggal ayahnya itu, Roekmini bersama kakaknya, Palupi, ikut pamannya.
Dalam keadaan yang serba sulit itu, pada tahun 1952 ia bersama kakaknya menulis surat kepada Presiden Soekarno, meminta agar dikirimi sepeda. Enam bulan kemudian ia bersama kakaknya diminta datang ke Karesidenan Madiun karena Bung Karno akan memberikan mereka uang sebesar Rp.500 untuk membeli sepeda. Pemberian uang itu ditolaknya, karena yang mereka butuhkan bukan uang melainkan sepeda. Akirnya, presiden pun membelikan sepeda dari uang tersebut.
Mengabdi di Kepolisian
Selesai pendidikannya di SMA, Roekmini melanjutkan studinya di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Setelah tamat pada 1964, atas saran sahabat dekatnya, Pater Blood, ia memilih kariernya di kepolisian.
Berbagai tugas pernah dilaluinya: menjadi Staf Asisten Intel Khusus di Polwil 096 Yogyakarta, Kepala Seksi Pengawas Keamanan Negara (PKN), Kepala Seksi Pembinaan Ketertiban Masyarakat, Kepala Seksi Psikologi, Kepala Biro Organisasi Sosial Politik Kowilhan II/Jawa Madura. Namun salah satu tugasnya yang pailng berat ialah ketika sebagai Staf Asisten Intel ia harus menangani kasus pemerkosaan Sum Kuning yang melibatkan anak-anak penggede di wilayahnya.
Menjadi anggota DPR
Berbagai prestasinya menyebabkan Roekmini kemudian ditunjuk sebagai anggota DPR untuk mewakili Polri pada 1982, sebagai satu-satunya perempuan di antara 90 anggota Fraksi ABRI saat itu. Ia sempat ditugasi di Komisi IX dan Komisi IV, dan belakangan di Komisi II yang berhadapan dengan banyak kasus yang menyangkut kehidupan rakyat kecil langsung, seperti kasus tanah.
Roekmini berkeyakinan bahwa ABRI harus bisa menyuarakan kepentingan rakyat, dan memperjuangkan agar proses pengambilan keputusan politik tidak meninggalkan rakyat. Apa yang diucapkannya dari kursi DPR juga diwujudkannya dalam kehidupan kesehariannya. Roekmini tidak segan-segan menumpang kereta api bolak-balik setiap minggu menempuh jarak Jakarta-Yogyakarta. Kalau keretanya penuh, berdiri atau tidur di lantai pun jadi," kata Roekmini."
Roekmini adalah tokoh yang unik di Gedung MPR/DPR karena sebagai anggota Fraksi ABRI keberpihakannya kepada rakyat kecil sangat jelas. Tampaknya pengenalannya secara langsung akan kehidupan rakyat kecil menyebabkan Roekmini tampil sebagai anggota DPR yang sangat vokal. Namun Roekmini mengaku bahwa semua ucapannya di istana wakil rakyat itu sudah dikonsultasikannya dengan atasannya terlebih dulu. "Tapi kalau kemudian komentar-komentar saya dinilai terlalu keras, paling kata mereka yah memang dari dulu Roekmini keras begitu. Yang jelas saya kan tidak mengkhianati UUD 45, Panca Sila dan ABRI," katanya. Betapapun juga, Roekmini harus membayar mahal untuk keberaniannya itu. Setelah dua periode akhirnya pada 1992 ia dicopot dari DPR bersama sepuluh orang rekannya dari Fraksi ABRI.
Mengabdi di Komnas HAM
Selesai menjalankan tugasnya di DPR, Roekmini dipindahkan ke Markas Besar ABRI sebagai staf yang membantu Kasospol ABRI. Namun tugas itu tidak lama dijalaninya karena pada 1993 Roekmini kemudian mendapat kepercayaan untuk duduk di Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia. Tampaknya ini adalah tempat yang sangat tepat baginya karena pada masa-masa terakhir Orde Baru Komnas HAM menjadi tumpuan pencari keadilan.
Ketika kanker di tenggorokan dan pita suaranya menggerogoti tubuhnya dan Roekmini harus dirawat intensif di RSPAD Jakarta, ia tetap menaruh perhatian terhadap masalah-masalah pelanggaran hak-hak asasi manusia. Ia sangat menaruh perhatian khususnya kasus penyerbuan Kantor Pusat PDI pada Peristiwa 27 Juli 1996. Bahkan pada saat peristiwa tersebut terjadi, ia masih memaksakan diri untuk terus melakukan komunikasi dengan putri sulungnya yang berada di lokasi kejadian sejak tengah hari. Dari laporan-laporan langsung tersebut ia akhirnya mendapat gambaran yang lebih jelas tentang peristiwa penyerbuan tersebut. Keprihatinannya yang sangat tinggi terhadap peristiwa penyerbuan tersebut sering membuatnya lupa akan kondisi kesehatannya yang semakin menurun. Ia sering bertanya kepada ajudannya, "Kapan Komnas HAM rapat lagi soal PDI. Saya mau kabur sebentar dari sini, ikut rapat." Ia masih ingin memberikan masukan untuk laporan akhir Komisi tersebut. Namun Tuhan menentukan lain. Pada 2 September 1996 ia berpulang kepada Penciptanya. Jenazahnya dibawa ke Desa Baerejo, Kebonsari, Madiun, untuk dimakamkan di Mangunarsan, makam keluarganya.
Keluarga
Roekmini meninggalkan suami, Ir. Mas Soejono, seorang dosen di Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, dan seorang anak perempuan dan tiga laki-laki yaitu Sih Wening Wijayanti, Ardi Wijaya, Giri Wijaya Sidi, dan Bagus Aji Mandiri.
Karya tulis
Mata Hati Roekmini: Nurani untuk Hak Asasi (1996)
( id.wikipedia)